Pernah nggak, sih, kalian saking sayangnya sama seseorang
lantas jarang menunjukan rasa sayang itu, karena takut ditinggalkan? Takut
mengecewakan?
Gue pernah.
Seorang Nunu yang selalu takut
dan berkabut, pada suatu hari berani mencoba menjalani hubungan yang selama ini
dia hindarkan.
Gue yang memang skeptis sama komitmen
yang bernama ‘pacaran’ pun dari awal
sudah menjelaskan, kalau gue nggak bisa. Pengalaman memaksa gue untuk sinis. Gue terlalu takut untuk mencoba.
Namun dia dengan sabar melimpahkan sayang itu dan berusaha membuat gue
untuk perlahan jatuh dan percaya pada arus agungnya yang rahasia.
Akhirnya, pada hari Minggu bulan ketiga, gue menyepakati dua arus yang
saling berkelindan itu untuk menorehkan arahnya sendiri.
Nggak ada kata-kata romantis nan picisan ketika itu. Nggak perlu. Karena
kita sama-sama tahu perasaan masing-masing. Sesederhana Piknik 72-nya Naif yang menjadi latar musik awal hubungan kita dan
rinai hujan yang menutup hari itu.
But life always get in the way…
Something happened. Me, happened. Seperti yang sudah gue bilang tadi, gue selalu berkabut.
Dan kabut makin pekat di saat yang kurang tepat. Gue jarang menceritakan masalah
pribadi gue dengan dia, gue takut. Takut kalau gue menceritakan semuanya,
lantas hubungan ini akan melanjut ke jenjang yang lebih serius. Bukan berarti
gue nggak serius dan nggak mau itu terjadi. Yang gue takutkan adalah, jika
hubungan ini menjadi sangat serius, apa ada yang menjamin kalau kita nggak akan
saling mengecewakan lantas sama-sama terluka? Apa ada yang menjamin kalau suatu saat nanti dia nggak
akan pergi? Lalu meninggalkan gue sendiri, yang berusaha menyusun kembali harap
dan doa yang tersisa dengan terseok-seok? Demi Tuhan gue terlalu tahu rasanya ditinggalkan orang terdekat. Demi Tuhan.
Suatu ketika kabut itu berhasil menang, dan membuat kompas dalam diri gue
kacau. Life got me disorientation.
Dengan keadaan yang seperti itu gue masih juga belum bisa menceritakannya. Konflik
pelan-pelan datang bergantian. Satu konflik kecil terjadi lalu membuat dia
kecewa. Dan teman gue sendiri yang menegaskan hal itu.
Kecewa. Betapa kata itu
begitu memegapkan. Bagi gue, kata kecewa yang diucapkan dengan penuh arti jauh
lebih memukul dibanding amarah. Padahal masalahnya hanya berawal dari kabar. Kabar
yang takterkirimkan lewat fitur direct
message Twitter karena sinyal jurusan yang bapuk. Dia terlalu bete untuk
menunggu gue menjelaskan, dan gue pun terlalu lelah karena dia sudah terlanjur
bete. Bahkan, kata teman gue sendiri—kecewa.
Menurutnya, gue minta maaf seperti tidak niat.
Padahal lagi, dia tidak tahu kalau gue sering berusaha pulang cepat untuk men-charger ponsel—karena dibutuhkan waktu tiga jam lebih sampai ia terisi penuh dan bisa digunakan untuk mengabarinya. Dia juga tidak tahu, gue suka terbangun dari mimpi buruk kalau suatu saat tiba-tiba dia memutuskan untuk pergi. Pergi secara metafor dan harfiah. Dia tidak tahu, belum. Hingga akhirnya semuanya terlambat.
Padahal lagi, dia tidak tahu kalau gue sering berusaha pulang cepat untuk men-charger ponsel—karena dibutuhkan waktu tiga jam lebih sampai ia terisi penuh dan bisa digunakan untuk mengabarinya. Dia juga tidak tahu, gue suka terbangun dari mimpi buruk kalau suatu saat tiba-tiba dia memutuskan untuk pergi. Pergi secara metafor dan harfiah. Dia tidak tahu, belum. Hingga akhirnya semuanya terlambat.
Dengan semua yang terjadi dan gue pendam sendiri, kata kecewa yang
keluar dari mulutnya itu terlalu memukul sampai-sampai membuat gue terjatuh dan kecewa
pada diri gue sendiri.
Saat itu semuanya terlalu bising dan sesak untuk dicerna. Gue butuh waktu
untuk memprosesnya. Sendirian. Gue memutuskan untuk break dengan dia, karena gue terlalu takut untuk mengecewakannya
lagi. Terlalu sayang untuk mendengar dia kecewa.
Pertama kali gue memutuskan, dia nggak menerimanya. Tapi gue sudah nggak punya rasa percaya lagi pada
diri gue sendiri untuk kembali mencoba. Gue kokoh dengan pendirian gue, dan dia
pun dengan terpaksa menerimanya.
Gue tahu, gue sangat sangat egois. Tapi gue terlalu takut pada kemungkinan-kemungkinan
kalau gue akan mengecewakannya lagi. Rasa takut di luar akal yang nggak bisa gue kontrol. Terlalu banyak ’tapi’ yang menghinggapi gue ketika itu.
Di saat break, kita masih sering
tukar kabar. Lebih sering dia yang memulainya, dengan pesan singkat di whatsapp. Gue, masih terlalu takut bahkan
untuk sekadar mencoba menghubungi dia, takut kalau-kalau dia menjadi optimis
bahwa gue sudah siap memulai kembali, padahal gue sama sekali belum siap. Maka
dari itu, sesesak apa pun rindu yang menyergap, gue nggak menghubunginya. Gue
hanya bisa memendam itu semua dan menyalurkannya pada prosa dan puisi. Mungkin
juga pada teman yang gue percaya dan hadir ketika itu. Itulah letak kesalahan
gue. Gue membuatnya percaya kalau gue sudah tidak mempunyai rasa yang sama
dengannya.
Pernah suatu hari, ketika Tiwi, Kak Ijul dan gue pergi ke Gramedia, Cinere,
untuk menghadiri bazaar buku, gue merasa sangat kangen dengan dia sampai-sampai
sepersekian menit mata gue melahap habis layar ponsel, demi tidak mau terlewat
pada kemungkinan ada pesan darinya. Tiwi mengetahui hal ini, dan kerap meledek. Lalu ketika di angkot menuju
Gramedia, seorang wanita setengah baya menumpang angkot yang kita naiki. Sialnya,
beliau sangat bau downy. Pelembut
pakaian yang harumnya sering kucium pada pakaiannya. Gue pun gusar. Mencoba mengibas-ngibaskan
bau itu ke arah lain sambil sesekali menutup hidung. Tiwi tahu akan hal itu dan
dia tertawa-tawa. Haha brengsek, awas lo, Tiw! Gue mencoba menghirup udara dari jendela demi
mengaburkan bau itu. Di saat
yang bersamaan, terdengar bunyi khas vespa. Kendaraan mesin kanan itu pun melengang
melewati angkot yang kami naiki. Brengsek, rindu makin takterbendung. Lalu, ping, seketika ada line masuk. Dari dia.
Saat itu juga gue percaya bahwa seperti pesan singkat, rindu bisa terkirim
layaknya telepati. Dan seperti biasa pula, Tiwi melihat dengan tertawa-tawa.
Namun, kali ini sambil bilang, “ciye, seneng kan, lo!”
Itu hanya sekali terjadi. Lebih seringnya, gue memendam rindu sendirian,
tanpa berani mengatakannya. Hingga pada suatu ketika gue merasa siap mencoba
kembali, ternyata sudah terlambat. Dia mengabari, kalau dia sedang dekat dengan
seorang perempuan. Nyali gue mengerut, dan di sisi lain kabut masih sama dan
makin pekat. Kabut itu melilit gue sampai gue merasa tidak sanggup untuk
menegakan kaki yang terlanjur tertekuk. Gue berada pada titik di mana seorang
manusia merasa nggak tahu harus bagaimana lagi. Gue merasa benar-benar
sendirian. Gue mencoba bangkit dengan menyebut-Nya.
Kalau hati dan pikiran
manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang
berseru? (Pramoedya
Ananta Toer)
Pada saat itu dia bilang kalau gue ada apa-apa, cerita, tapi gue merasa
sudah tidak berhak mengganggu dia, apa lagi setelah tahu kalau dia sudah
menaruh rasa pada orang lain. Makanya gue hanya bilang gue nggak apa-apa. Dia
pun berkata, ”you’re not that lonely, Nu.”
Pertahanan gue remuk. Dia nggak
tahu. Dia nggak tahu kalau gue memang benar-benar sendiri dan merasa sendiri. Selain
DIA, gue merasa sudah tidak mempunyai seseorang untuk diandalkan. Thank God, Dia mengirim Tiky dan Dipo.
Mereka bukan hanya menolong dan menghibur gue. Tapi, mereka juga menarik gue
keluar dari lubang itu, di saat orang-orang lainnya hanya berkata, “lo kenapa,
Nu?”. Gue masih mengingatnya sebagai
masa-masa terberat dan tergelap gue.
Gue ingat, tiga hari setelah gue memutuskan break, gue ke kampus dengan mata bengkak habis nangis, yang membuat
teman-teman bertanya-tanya. ”lo kenapa, Nu?” yang membuat bendungan yang gue
tahan jebol dan akhirnya sesenggukan. Seminggu
gue habiskan dengan menangis. Dan setahun lebih untuk pulih. Gue hanya
menyesal, dia, mungkin nggak pernah tahu seberapa sayang gue sama dia. Dan
seberapa dalam rindu yang gue pendam selama ini, sampai-sampai gue nggak
sanggup memikirkannya. I once said
to him, when he asked me if i missed him too, “i miss you. I miss you so much that I couldn’t
bear the thought of missing you”.
Di waktu gue merasa ada yang
belum terselesaikan tapi sudah terlambat, seorang teman berkata pada gue, “lo
tuh cuma perlu memaafkan diri lo sendiri”, dan kata-kata itu menampar gue
sangat keras. Ternyata semudah itu.
Dan sesederhana gue memaafkan diri gue, sesaat itu juga gue merasa akhirnya
bisa menata kembali apa yang pernah berserakan.
:''''((((
BalasHapusTerkadang memaafkan diri sendiri memang lebih sulit dibanding memaafkan orang lain.
BalasHapusKeep going, Nu.
Btw, brengsek foto profile gue alay najis
Perkara memaafkan memang nggak pernah mudah, ya, Mal.
HapusYoms, i like it, sist. Teruskan! Maybe someday we wll going to Senen again together:)))))))))
#anjayngakak
Berdamailah dengan masa lalu, gue cuma berharap lo gak usah takut lewat jurusan bahasa Inggris aja, sik. Bukan kenapa-kenapa...... muternya jauh. *eh
BalasHapusNduk, jangan suka menyebar fitnah, apalagi secara eksplisit seperti itu. Ndak baik. Sudah, kamu beli kerudung warna cerah saja, sana. #lalalalala #alabufath
HapusSungguh menyentuh sekali cerita yang Anda tulis di blog ini. Ini merupakan kisah yang bagus untuk ditulis di Blog. Tata bahasa nya sungguh rapi dan bersih. Intinya, saya suka dengan kisah yang Anda buat.
BalasHapusPesan: makanya move on dong Nu biar ga sendu lg wkakakakak. Meet up lah Nu pas libur. Btw gw br libur bln dpn hiks
Salam super
Rama DK
Bahahahak si bangkek. INI UDAH MOVE ON :(
HapusHAHA, demi apa? Puasa kuliah? Kasihan sekali anak DI, ini. Sudah pindah jurusan sana =))
Tulisan yang bagus. Kelewat bagus malah. Cara bertuturnya luwes sekali. Soal isi, saya tak berkompeten untuk berkomentar. Saya rasa, kalimat bung Pram sudah cukup untuk membuat kita lebih mudah memaafkan diri sendiri:
BalasHapus"Orang tak bisa berhati-hati setiap saat buat seumur hidupnya."
Wah, masih jauh dari kata bagus ini mah.. Hanya curhatan baper. Terima kasih, apresiasinya!:)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus