Minggu, 07 Juni 2015

Eros

Pernah nggak, sih, kalian saking sayangnya sama seseorang lantas jarang menunjukan rasa sayang itu, karena takut ditinggalkan? Takut mengecewakan?
Gue pernah. 
Seorang Nunu yang selalu takut dan berkabut, pada suatu hari berani mencoba menjalani hubungan yang selama ini dia hindarkan.  
Gue yang memang skeptis sama komitmen yang bernama ‘pacaran’ pun dari awal sudah menjelaskan, kalau gue nggak bisa. Pengalaman memaksa gue untuk sinis. Gue terlalu takut untuk mencoba.  
Namun dia dengan sabar melimpahkan sayang itu dan berusaha membuat gue untuk perlahan jatuh dan percaya pada arus agungnya yang rahasia.
Akhirnya, pada hari Minggu bulan ketiga, gue menyepakati dua arus yang saling berkelindan itu untuk menorehkan arahnya sendiri.
Nggak ada kata-kata romantis nan picisan ketika itu. Nggak perlu. Karena kita sama-sama tahu perasaan masing-masing. Sesederhana Piknik 72-nya Naif yang menjadi latar musik awal hubungan kita dan rinai hujan yang menutup hari itu.

But life always get in the way


Something happened. Me, happened. Seperti yang sudah gue bilang tadi, gue selalu berkabut.
Dan kabut makin pekat di saat yang kurang tepat. Gue jarang menceritakan masalah pribadi gue dengan dia, gue takut. Takut kalau gue menceritakan semuanya, lantas hubungan ini akan melanjut ke jenjang yang lebih serius. Bukan berarti gue nggak serius dan nggak mau itu terjadi. Yang gue takutkan adalah, jika hubungan ini menjadi sangat serius, apa ada yang menjamin kalau kita nggak akan saling mengecewakan lantas sama-sama terluka? Apa ada yang menjamin kalau suatu saat nanti dia nggak akan pergi? Lalu meninggalkan gue sendiri, yang berusaha menyusun kembali harap dan doa yang tersisa dengan terseok-seok? Demi Tuhan gue terlalu tahu rasanya ditinggalkan orang terdekat. Demi Tuhan.
Suatu ketika kabut itu berhasil menang, dan membuat kompas dalam diri gue kacau. Life got me disorientation. Dengan keadaan yang seperti itu gue masih juga belum bisa menceritakannya. Konflik pelan-pelan datang bergantian. Satu konflik kecil terjadi lalu membuat dia kecewa. Dan teman gue sendiri yang menegaskan hal itu.
Kecewa. Betapa kata itu begitu memegapkan. Bagi gue, kata kecewa yang diucapkan dengan penuh arti jauh lebih memukul dibanding amarah. Padahal masalahnya hanya berawal dari kabar. Kabar yang takterkirimkan lewat fitur direct message Twitter karena sinyal jurusan yang bapuk. Dia terlalu bete untuk menunggu gue menjelaskan, dan gue pun terlalu lelah karena dia sudah terlanjur bete. Bahkan, kata teman gue sendiri—kecewa.
Menurutnya, gue minta maaf seperti tidak niat.
Padahal lagi, dia tidak tahu kalau gue sering berusaha pulang cepat untuk men­-charger ponsel—karena dibutuhkan waktu tiga jam lebih sampai ia terisi penuh dan bisa digunakan untuk mengabarinya. Dia juga tidak tahu, gue suka terbangun dari mimpi buruk kalau suatu saat tiba-tiba dia memutuskan untuk pergi. Pergi secara metafor dan harfiah. Dia tidak tahu, belum. Hingga akhirnya semuanya terlambat.
Dengan semua yang terjadi dan gue pendam sendiri, kata kecewa yang keluar dari mulutnya itu terlalu memukul sampai-sampai membuat gue terjatuh dan kecewa pada diri gue sendiri.
Saat itu semuanya terlalu bising dan sesak untuk dicerna. Gue butuh waktu untuk memprosesnya. Sendirian. Gue memutuskan untuk break dengan dia, karena gue terlalu takut untuk mengecewakannya lagi. Terlalu sayang untuk mendengar dia kecewa.
Pertama kali gue memutuskan, dia nggak menerimanya. Tapi gue sudah nggak punya rasa percaya lagi pada diri gue sendiri untuk kembali mencoba. Gue kokoh dengan pendirian gue, dan dia pun dengan terpaksa menerimanya.

Gue tahu, gue sangat sangat egois. Tapi gue terlalu takut pada kemungkinan-kemungkinan kalau gue akan mengecewakannya lagi. Rasa takut di luar akal yang nggak bisa gue kontrol. Terlalu banyak ’tapi’ yang menghinggapi gue ketika itu.

Di saat break, kita masih sering tukar kabar. Lebih sering dia yang memulainya, dengan pesan singkat di whatsapp. Gue, masih terlalu takut bahkan untuk sekadar mencoba menghubungi dia, takut kalau-kalau dia menjadi optimis bahwa gue sudah siap memulai kembali, padahal gue sama sekali belum siap. Maka dari itu, sesesak apa pun rindu yang menyergap, gue nggak menghubunginya. Gue hanya bisa memendam itu semua dan menyalurkannya pada prosa dan puisi. Mungkin juga pada teman yang gue percaya dan hadir ketika itu. Itulah letak kesalahan gue. Gue membuatnya percaya kalau gue sudah tidak mempunyai rasa yang sama dengannya.

Pernah suatu hari, ketika Tiwi, Kak Ijul dan gue pergi ke Gramedia, Cinere, untuk menghadiri bazaar buku, gue merasa sangat kangen dengan dia sampai-sampai sepersekian menit mata gue melahap habis layar ponsel, demi tidak mau terlewat pada kemungkinan ada pesan darinya. Tiwi mengetahui hal ini, dan kerap meledek. Lalu ketika di angkot menuju Gramedia, seorang wanita setengah baya menumpang angkot yang kita naiki. Sialnya, beliau sangat bau downy. Pelembut pakaian yang harumnya sering kucium pada pakaiannya. Gue pun gusar. Mencoba mengibas-ngibaskan bau itu ke arah lain sambil sesekali menutup hidung. Tiwi tahu akan hal itu dan dia tertawa-tawa.  Haha brengsek, awas lo, Tiw!  Gue mencoba menghirup udara dari jendela demi mengaburkan bau itu. Di saat yang bersamaan, terdengar bunyi khas vespa. Kendaraan mesin kanan itu pun melengang melewati angkot yang kami naiki. Brengsek, rindu makin takterbendung. Lalu, ping, seketika ada line masuk. Dari dia. Saat itu juga gue percaya bahwa seperti pesan singkat, rindu bisa terkirim layaknya telepati. Dan seperti biasa pula, Tiwi melihat dengan tertawa-tawa. Namun, kali ini sambil bilang, “ciye, seneng kan, lo!”

Itu hanya sekali terjadi. Lebih seringnya, gue memendam rindu sendirian, tanpa berani mengatakannya. Hingga pada suatu ketika gue merasa siap mencoba kembali, ternyata sudah terlambat. Dia mengabari, kalau dia sedang dekat dengan seorang perempuan. Nyali gue mengerut, dan di sisi lain kabut masih sama dan makin pekat. Kabut itu melilit gue sampai gue merasa tidak sanggup untuk menegakan kaki yang terlanjur tertekuk. Gue berada pada titik di mana seorang manusia merasa nggak tahu harus bagaimana lagi. Gue merasa benar-benar sendirian. Gue mencoba bangkit dengan menyebut-Nya.
Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru? (Pramoedya Ananta Toer)
Pada saat itu dia bilang kalau gue ada apa-apa, cerita, tapi gue merasa sudah tidak berhak mengganggu dia, apa lagi setelah tahu kalau dia sudah menaruh rasa pada orang lain. Makanya gue hanya bilang gue nggak apa-apa. Dia pun berkata, ”you’re not that lonely, Nu.” Pertahanan gue remuk. Dia nggak tahu. Dia nggak tahu kalau gue memang benar-benar sendiri dan merasa sendiri. Selain DIA, gue merasa sudah tidak mempunyai seseorang untuk diandalkan. Thank God, Dia mengirim Tiky dan Dipo. Mereka bukan hanya menolong dan menghibur gue. Tapi, mereka juga menarik gue keluar dari lubang itu, di saat orang-orang lainnya hanya berkata, “lo kenapa, Nu?”.  Gue masih mengingatnya sebagai masa-masa terberat dan tergelap gue.

Gue ingat, tiga hari setelah gue memutuskan break, gue ke kampus dengan mata bengkak habis nangis, yang membuat teman-teman bertanya-tanya. ”lo kenapa, Nu?” yang membuat bendungan yang gue tahan jebol dan akhirnya sesenggukan.  Seminggu gue habiskan dengan menangis. Dan setahun lebih untuk pulih. Gue hanya menyesal, dia, mungkin nggak pernah tahu seberapa sayang gue sama dia. Dan seberapa dalam rindu yang gue pendam selama ini, sampai-sampai gue nggak sanggup memikirkannya. I once said to him, when he asked me if i missed him too, “i miss you. I miss you so much that I couldn’t bear the thought of missing you”.
Di waktu gue merasa ada yang belum terselesaikan tapi sudah terlambat, seorang teman berkata pada gue, “lo tuh cuma perlu memaafkan diri lo sendiri”, dan kata-kata itu menampar gue sangat keras. Ternyata semudah itu. Dan sesederhana gue memaafkan diri gue, sesaat itu juga gue merasa akhirnya bisa menata kembali apa yang pernah berserakan.  

10 comments:

  1. Terkadang memaafkan diri sendiri memang lebih sulit dibanding memaafkan orang lain.

    Keep going, Nu.

    Btw, brengsek foto profile gue alay najis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perkara memaafkan memang nggak pernah mudah, ya, Mal.
      Yoms, i like it, sist. Teruskan! Maybe someday we wll going to Senen again together:)))))))))
      #anjayngakak

      Hapus
  2. Berdamailah dengan masa lalu, gue cuma berharap lo gak usah takut lewat jurusan bahasa Inggris aja, sik. Bukan kenapa-kenapa...... muternya jauh. *eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nduk, jangan suka menyebar fitnah, apalagi secara eksplisit seperti itu. Ndak baik. Sudah, kamu beli kerudung warna cerah saja, sana. #lalalalala #alabufath

      Hapus
  3. Sungguh menyentuh sekali cerita yang Anda tulis di blog ini. Ini merupakan kisah yang bagus untuk ditulis di Blog. Tata bahasa nya sungguh rapi dan bersih. Intinya, saya suka dengan kisah yang Anda buat.

    Pesan: makanya move on dong Nu biar ga sendu lg wkakakakak. Meet up lah Nu pas libur. Btw gw br libur bln dpn hiks

    Salam super
    Rama DK

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahahahak si bangkek. INI UDAH MOVE ON :(

      HAHA, demi apa? Puasa kuliah? Kasihan sekali anak DI, ini. Sudah pindah jurusan sana =))

      Hapus
  4. Tulisan yang bagus. Kelewat bagus malah. Cara bertuturnya luwes sekali. Soal isi, saya tak berkompeten untuk berkomentar. Saya rasa, kalimat bung Pram sudah cukup untuk membuat kita lebih mudah memaafkan diri sendiri:
    "Orang tak bisa berhati-hati setiap saat buat seumur hidupnya."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, masih jauh dari kata bagus ini mah.. Hanya curhatan baper. Terima kasih, apresiasinya!:)

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus