Bagiku, momen paling
rambang yang dicipta semesta adalah bertemu kamu. Sosok yang kutahu dari semu
yang tak seberapa dan berujung pada pertemuan singkat di antara lampu kota juga
gedung-gedung yang kelelahan. Tidak ada awan berbaris yang membuat barikade
lagu perkenalan seperti yang kualami dulu. Hanya kita yang sederhana, berbisik
dan bertukar pandang di tengah tayangan sinema.
Saat itu, aku dikagetkan hangat yang tiba-tiba mengalir ke sekujur tubuh yang paling sukma. Seketika aku limbung. Bingung memikirkan dari keran mana aliran hangat itu berasal. Bagaimana mungkin, aku yang selama ini selalu menjadi gadis kecil yang bersembunyi dari kabut bisa-bisanya pergi berkelana ke dalam pusara tebalnya. Sebuah pekat yang melumpuhkan pandangan. Melihat saja aku tak mampu, tetapi aku malah merelakan diriku berkelana di dalamnya. Seperti memasuki labirin dengan akhir yang masih tanya. Bagaimana mungkin?
Tak ada kendaraan
mesin kanan dengan bunyi khasnya yang selalu kudamba, atau parka hijau yang
melekat pada pakaianmu—yang akan kautawari untukku jika hari semakin dingin. Tak ada lontaran pertanyaan,
”eh sama siapa? Sama pacar, ya?” dari entitas lain, seperti yang dulu
pernah canggung kualami. Hanya kamu dengan logat khasmu, dan kita yang berusaha
mengakrabkan diri di tengah pelukan malam. Ah, ya, juga kebodohan kecil yang
kita lakukan, karena terlalu asik bertukar obrolan sampai salah memilih jalur
pulang. Hal kecil yang
membuatku tersenyum jika mengingatnya. Our first silliness.
Setibanya di depan rumahku, kita pun
saling berpamitan dengan senyum canggung yang tersunging di bibir
masing-masing. Aku memasuki gerbang dengan perasaan semakin limbung akan
hangat yang tadi kurasa. Hangat yang mengundang serangkaian serangan ingatan
dan menimbulkan puluhan tanya sendu dalam batin.
Hari demi hari
berlalu dengan begitu lekasnya. Sederet percakapan yang kita tuturkan tentang
aku, kamu, atau tentang apa saja yang bukan tentang kita*, mengisi hari-hari
itu. Percakapan yang ternyata mampu menyematkan senyum di wajahku yang aku
sendiri pun tak menyadari, sampai temanku menyampaikannya. Katanya, mengapa
wajahku kerap sumringah belakang ini, berbeda dengan dulu. Pernyataan sekaligus
pertanyaan yang berhasil mengusik pikiranku. M e n g a p a ?
Sebulan lebih berlalu
dengan beberapa pertemuan yang kita langsungkan, juga setumpuk pembicaraan yang
sama tentang aku, kamu, atau tentang apa saja yang bukan tentang kita. Ada
perihal-perihal bahagia yang masih dalam rencana terselip di
sana, sekeranjang nanti yang masih umpama, dan berbagai andai yang
tercipta—semua kau ucapkan dengan fasih dan kerap membuat seisi perutku
bergejolak. Perihal-perihal nanti yang belum tentu terjadi memang membuatku
takut. Alasannya sederhana: aku tak ingin muluk berekspektasi dan terjebak di
dalamnya. Sebab, ekspektasi adalah racun sendu paling kelu. Namun, tetap saja
aku tak kuasa untuk tidak mengamini. Aku terseret arus yang dulu mendamparkanku
pada kegagalan. Arus yang kerap menghisap persediaan rasa percayaku. Arus yang
kini membawa kepakan sayap kupu-kupu di perutku, juga hal-hal picisan lain. Aku
memang tidak pandai berenang dan kerap takut untuk menyelam, tetapi kali ini
aku mencoba mengizinkan diriku untuk ikhlas tersaruk arusnya yang masih tanya.
Entah ke mana arus ini akan bermuara, mungkin pada titik yang tidak saling
berpotongan lalu selesai, atau berujung dengan garis panjang yang saling
bertautan.
Hai, lelaki pengagum
senja, terima kasih telah menghadirkan setiap binar, senyum, resah, dan seluruh
renjana yang kurasa. Maaf, entah apa ini yang kurasa sehingga membuatku sebegini noraknya.
Dariku, gadis penikmat gerimis dan sunyi
malam
yang kerap meracau tentang luka dan kenangan.
"Jika cinta begitu rumit, ubahlah ia menjadi perkara yang kau ikhlaskan." - Andi Gunawan.
*Payung Teduh - Mari Bercerita
0 comments:
Posting Komentar