Minggu, 18 Oktober 2015

Belajar Ikhlas Bagian Kedua - Kamu dalam Prosa Picisanku

Bagiku, momen paling rambang yang dicipta semesta adalah bertemu kamu. Sosok yang kutahu dari semu yang tak seberapa dan berujung pada pertemuan singkat di antara lampu kota juga gedung-gedung yang kelelahan. Tidak ada awan berbaris yang membuat barikade lagu perkenalan seperti yang kualami dulu. Hanya kita yang sederhana, berbisik dan bertukar pandang di tengah tayangan sinema.


Saat itu, aku dikagetkan hangat yang tiba-tiba mengalir ke sekujur tubuh yang paling sukma. Seketika aku limbung. Bingung memikirkan dari keran mana aliran hangat itu berasal. Bagaimana mungkin, aku yang selama ini selalu menjadi gadis kecil yang bersembunyi dari kabut bisa-bisanya pergi berkelana ke dalam pusara tebalnya. Sebuah pekat yang melumpuhkan pandangan. Melihat saja aku tak mampu, tetapi aku malah merelakan diriku berkelana di dalamnya. Seperti memasuki labirin dengan akhir yang masih tanya. Bagaimana mungkin?

Tak ada kendaraan mesin kanan dengan bunyi khasnya yang selalu kudamba, atau parka hijau yang melekat pada pakaianmu—yang akan kautawari untukku jika hari semakin dingin. Tak ada lontaran pertanyaan, ”eh sama siapa? Sama pacar, ya?” dari entitas lain, seperti yang dulu pernah canggung kualami. Hanya kamu dengan logat khasmu, dan kita yang berusaha mengakrabkan diri di tengah pelukan malam. Ah, ya, juga kebodohan kecil yang kita lakukan, karena terlalu asik bertukar obrolan sampai salah memilih jalur pulang. Hal kecil yang membuatku tersenyum jika mengingatnya. Our first silliness.

Setibanya di depan rumahku, kita pun saling berpamitan dengan senyum canggung yang tersunging di bibir masing-masing. Aku memasuki gerbang dengan perasaan semakin limbung akan hangat yang tadi kurasa. Hangat yang mengundang serangkaian serangan ingatan dan menimbulkan puluhan tanya sendu dalam batin.

Hari demi hari berlalu dengan begitu lekasnya. Sederet percakapan yang kita tuturkan tentang aku, kamu, atau tentang apa saja yang bukan tentang kita*, mengisi hari-hari itu. Percakapan yang ternyata mampu menyematkan senyum di wajahku yang aku sendiri pun tak menyadari, sampai temanku menyampaikannya. Katanya, mengapa wajahku kerap sumringah belakang ini, berbeda dengan dulu. Pernyataan sekaligus pertanyaan yang berhasil mengusik pikiranku. M e n g a p a ?

Sebulan lebih berlalu dengan beberapa pertemuan yang kita langsungkan, juga setumpuk pembicaraan yang sama tentang aku, kamu, atau tentang apa saja yang bukan tentang kita. Ada perihal-perihal bahagia yang masih dalam rencana terselip di sana, sekeranjang nanti yang masih umpama, dan berbagai andai yang tercipta—semua kau ucapkan dengan fasih dan kerap membuat seisi perutku bergejolak. Perihal-perihal nanti yang belum tentu terjadi memang membuatku takut. Alasannya sederhana: aku tak ingin muluk berekspektasi dan terjebak di dalamnya. Sebab, ekspektasi adalah racun sendu paling kelu. Namun, tetap saja aku tak kuasa untuk tidak mengamini. Aku terseret arus yang dulu mendamparkanku pada kegagalan. Arus yang kerap menghisap persediaan rasa percayaku. Arus yang kini membawa kepakan sayap kupu-kupu di perutku, juga hal-hal picisan lain. Aku memang tidak pandai berenang dan kerap takut untuk menyelam, tetapi kali ini aku mencoba mengizinkan diriku untuk ikhlas tersaruk arusnya yang masih tanya. Entah ke mana arus ini akan bermuara, mungkin pada titik yang tidak saling berpotongan lalu selesai, atau berujung dengan garis panjang yang saling bertautan.

Hai, lelaki pengagum senja, terima kasih telah menghadirkan setiap binar, senyum, resah, dan seluruh renjana yang kurasa. Maaf, entah apa ini yang kurasa sehingga membuatku sebegini noraknya.
  
Dariku, gadis penikmat gerimis dan sunyi malam 
yang kerap meracau tentang luka dan kenangan.


"Jika cinta begitu rumit, ubahlah ia menjadi perkara yang kau ikhlaskan." - Andi Gunawan.

*Payung Teduh - Mari Bercerita

0 comments:

Posting Komentar