Rabu, 14 Oktober 2015

DISAPA KENANGAN


SIAPA ITU “Halo, Pagi, Beatrice. Selamat hari Valentine, sayang.”
Beatrice mengusap mata bulatnya dengan tangan kiri, lalu, mendekatkan layar ponsel ke depan wajahnya. Waktu masih menunjukkan pukul 02.05 WIB.
“Ini siapa?” Jawabnya parau setengah tersadar.
“Ini, aku”.
“Iya, siapa?”
“Aku.”
“Iya, aku siapa?”
“Sudah lupakah kau, pada suaraku?”
“Maaf, tapi ini siapa?”
“Tak ingat lagi  kau, padaku?”
“Siapa, sih?”
“Ini aku. Yang sering kali datang ketika kau sedih.”
“Maaf, tapi aku benar-benar tak ingat. Dan demi Tuhan, ini masih jam dua pagi, matahari pun masih rehat. Kalau kamu, masih berniat menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, akan kututup percakapan ini dengan singkat. Karena aku tak berminat.
“Aku sedih. Secepat itukah kau melupakan aku, sahabat yang selalu menemanimu saat kau menangis? Sahabat yang selalu ada, ketika kamu sedih, tidak bisa mengulang apa yang sudah terjadi? Baiklah, karena aku sahabat yang setia, dan akan selalu setia, aku akan memberitahu siapa aku. Aku kenangan. Apa kabar?”
***


               
Kenangan. Kalian tahu apa itu kenangan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kenangan adalah sesuatu atau kesan yang tertingal dan diingat dalam pikiran. Aku cukup setuju dengan definisi tersebut. Walau demikian, aku mempunyai definisiku sendiri. Bagiku, kenangan adalah sesuatu yang tak ’kan pernah bisa kau ulangi lagi, sesuatu yang menimbulkan perasaan tertentu saat mengingatnya. Tapi aku di sini bukan untuk mendikte kalian tentang arti kenangan yang benar ataupun yang salah, karena dalam dunia yang fana ini, bukankah terlalu sempit menilai dan melihat sesuatu dengan sisi hitam-putih saja? Tidakkah sebuah lukisan akan lebih indah dan semarak, jika terdapat beberapa gores warna di dalamnya?
Perkenalkan namaku kenangan. Akulah yang sering dengan sengaja menyentil kalian dengan kedatanganku yang tanpa aba-aba. Aku yang sering menyelinap diam-diam dan membawa basah pada pelupuk mata. Aku yang sering membuat kalian terhenyak, tersenyum, tertawa, merengut, mengeluh, bersedih, berkerut, terjerembap, menangis, bermuring-muring diri, karena datangku yang selalu tiba-tiba. Aku juga yang sering menyergap, menghajar kalian, agar kalian tersadar dan tidak membuat kesalahan yang sama, agar kalian tidak lupa bagaimana rasanya tersenyum di saat kalian merasa seluruh dunia sedang bersekongkol melawan kalian, agar kalian tidak berhenti bersyukur atas nikmat-Nya yang melimpah ruah. Dan iya, itu aku juga yang khilaf bermain dan meloncat kian kemari, saat kalian mungkin sudah lupa-lupanya dengan mantan. Hehe, namanya juga khilaf.
***
Pukul empat pagi, Beatrice berdiri di hadapan cermin, memandangi wajahnya yang sembab akibat tangis yang tak terbendung.
“Kalian begitu cocok dan saling mencintai, kenapa tidak mencoba untuk kembali menapaki?”
 “Tidak segampang itu.”
“Semuanya begitu mudah, kalianlah para manusia yang selalu membuatnya susah.”
“Kamu tidak akan mengerti.”
“Apa yang tidak kumengerti? Kau begitu tersiksa, bukan? Kau merindukannya, dia pun merindukanmu, kalian masih saling mencintai.”
“Kadang cinta saja tidak cukup untuk membuat sebuah hubungan berhasil.”
“Sebuah argumentasi yang buruk.”
“Mungkin. Tapi begitulah adanya.”
“Kalau kau begitu mencintainya kenapa kau memutuskan berpisah dengannya?”
 “Aku sudah menyakiti hatinya.”
“Lalu? Semua orang berbuat salah, itulah gunanya introspeksi diri, bukan? Agar manusia belajar dari kesalahannya.”
 “Kau tidak mengerti. Aku telah menyakiti hatinya. Dan kenyataan itu membuatku merasakan sakit yang sama. Aku gagal.”
“Lantas? Semua manusia pasti akan gagal, entah dalam hal apa. Yang penting adalah ketika mereka gagal mereka tidak jatuh semakin terpuruk, tetapi bangkit dan mencoba lagi. Hingga berhasil.”
***

Namanya Beatrice. Hubungan asmara yang telah dijalaninya selama kurang lebih dua setengah tahun kandas begitu saja, ketika ia duduk di tingkat tiga perkuliahan.
Hari itu di penghujung pergantian musim, angin berembus kencang. Deretan pohon lamtoro yang menyirip berbentuk segitiga itu, memilih menggugurkan daunnya yang sudah mencokelat. Angin sepoi membuat daun-daun itu jatuh dengan anggunnya bak musim gugur di belahan Inggris raya, tapi tunggu sampai kalian mendengar nama lokal dari pohon yang daunnya cantik itu. Pete Cina. Iya, pete Cina. Bukan pohon mapple atau sakura.
Senandung angin membuai Beatrice dalam nyamannya. Tugas makalah kunjungan pabrik telah selesai ia kerjakan. Urusan perut pun telah usai dipenuhi. Masih ada sekitar satu jam lagi sebelum kelas berikutnya dimulai. Tak ada pilihan menarik lain yang bisa Beatrice lakukan sendirian, selain melamun.
***

Bagi beberapa orang rumah adalah tempat sederhana untuk berteduh dari segala macam cuaca dan bahaya, yang setiap waktu mengepulkan aroma sedap tanda masakan telah matang. Bagi sebagian lain, rumah adalah bangunan mewah bergaya eropa dengan halaman disertai taman elok yang cukup untuk menampung warga satu RT Jakarta pinggiran. Bagi sebagian lainnya, rumah adalah canda dan tenang di sepetak ruang kecil dengan tripleks sebagai penyanggah dan kardus sebagai alasnya. Namun bagii Beatrice, rumah adalah tempat di mana ia bisa kunjungi berulangkali, di mana ia merasa aman dan nyaman, tempat di mana ia bisa menjadi dan menemukan diri sendiri, tempat di mana ia bisa selalu pulang, rumah adalah dia. Seseorang yang menawarkan canda dan tawa, seseorang yang menawarkan tempat perlindungan sekaligus berlabuh dari kerasnya cuaca. Itu dulu.
Menit silih berganti, beberapa mahasiswa berlalu lalang. Satu dari gerombolan mahasiswa tersebut berjalan terlalu dekat dengan Beatrice. Wanginya sangat menusuk indera penciuman. Membuatnya terjerembap dalam nostalgia kisah yang sudah usang. Wangi musk
Rasanya sudah beberapa menit yang lalu mahasiswa itu lewat, akan tetapi wangi parfum beraroma musk  tersebut masih saja menempel di hidung bangirnya. Pusing, ia pun beranjak pergi dari kursi taman kampus yang menyisakan wangi kenangan itu. Hey, jangan lihat aku, aku datang bukan karena mauku, salahkan mahasiswa berwangi musk itu.
Barusan aku datang sebagai harum yang membuatnya mual. Kemarin-kemarin aku berkunjung dalam bentuk kendaraan, dan sebuah update singkat di jejaring sosial. Iya, aku bisa datang dalam bentuk apa saja. Mulai dari sepotong lagu, senandung nyanyian, rinaian  hujan, malam, kemacetan lalu lintas, pun dengan sebuah sketsa, film, kata-kata, apa pun. Oh iya, minggu lalu hujan memanggilku. Karenanya, Beatrice jadi teringat saat sedang berteduh di pinggiran jalan Surabaya bersama mantan kekasihnya. Mobil yang mereka naiki mogok dan hujan semakin turun dengan deras, mengundang dingin datang menyelimuti. Alhasil jemarinya memucat.
Beatrice merasa kesal. Sedih. Marah. Semesta telah bersekongkol dengan kenangan, pikirnya. Sudah beberapa hari ini Beatrice diserbu olehku—kenangan. Sekali lagi aku tegaskan, itu bukan mauku. Aku kan hanya menjalankan tugasku sebagai kenangan, kalau tiba-tiba semesta memanggilku, aku bisa apa?
Saking kesalnya ia menendang-nendang batu yang ia temui dijalan. Lalu ia pun tersandung. Salah sendiri nendang-nendang batu, memangnya batu nggak kesal ditendangi terus?
Hidup juga penuh dengan sandungan. Mulai dari debu, kerikil kecil, sampai batu besar. Banyak rintangan. Sama seperti hubungan. Dan menyerahkan hubungan pada waktu bukanlah pilihan yang bijak dan pastinya sia-sia. Waktu membuai, ia memakan segala sesuatu yang mencoba diam di jalurnya. Melahap seluruh jeda yang berusaha disematkan. Karena waktu tak berjeda. Ia juga bukan mesin super pembuat keputusan. Kalianlah yang harus memutuskan, agar tidak menyerah pada kehampaan. Maka dari itu tersedia pilihan. Pilihan untuk tetap tinggal atau pindah ke rumah lainnya yang lebih nyaman.
          Dan aku? Aku hanyalah setitik warna yang berkesan dalam ingatan kalian yang mungkin saja, berdarah-darah. Tapi aku hanyalah sebingkai sejarah. Seperti gauman suara yang berulangkali terdengar tapi tidak bisa digenggam. Kalian bisa pergi menjauhi asal suara atau malah terbuai dalam gema yang muram. Aku layaknya burung yang disangkar, sepenuhnya bergantung pada kalian, mau dilepas atau tetap dipelihara, aku tak punya pilihan. Tapi kalian punya, Tuan dan Puan. Dan kalianlah yang memutuskan untuk terus melaju bersama roda waktu dan bangkit memperbaiki, atau tetap meratap dan menjadi sahabatku dalam melankoli yang itu-itu lagi.
Tersandung batu sekali, memang sakit dan bisa saja meninggalkan memar di ujung kaki, tapi hal tersebut seharusnya mampu membuat kita berjalan lebih berhati-hati. Sandungan, mungkin diperlukan untuk kita berkaca diri dan berintrospeksi agar tidak kembali terjatuh lagi. Beatrice kemudian kembali berjalan, sesekali menengadah ke atas kaki langit, buah karya Sang Pencipta, yang indahnya tak terduakan. Ia teringat sepengal sajak dari Daeng Pabichara, ”aku ceritakan kesedihanku kepada sungai agai sungai mengajariku bagaimana mengalir tanpa sedikit pun mengeluh”. Setelah lamunan panjang itu, Beatrice merasa hatinya kini lebih ringan. Sungguh, sekarang Beatrice percaya bahwa tak ada hujan yang tak berkesudahan, yang ada hanyalah pembentuk diri dan sebuah takdir Tuhan.
Di hari kasih sayang ini, Beatrice memutuskan mengambil napas baru dalam nestapa. Bukan berarti meninggalkanku dan berhenti menyapa. Namun hanya selangkah kecil keputusan, untuk berjalan bersamaku beriringan, dan bangkit dari koma yang berkepanjangan. Dia berhasil dengan cara yang bukan mustahil; dengan menjadikanku sebuah spion koreksi saat berpapasan, agar tak mengulang kesalahan yang sama, tak berakhiran. Bagaimana dengan kalian?
***

Ditulis untuk keperluan tugas matkul Membaca Kritis, pada tingkat awal kuliah. Ketika rasa tak berhasil menjelma suara, maka kutitipkan kisah pada prosa yang tak pernah pamrih menampung lara.

2 comments: