SIAPA ITU. “Halo, Pagi, Beatrice. Selamat hari
Valentine, sayang.”
Beatrice mengusap mata bulatnya
dengan tangan kiri, lalu, mendekatkan layar ponsel ke depan wajahnya. Waktu
masih menunjukkan pukul 02.05 WIB.
“Ini siapa?” Jawabnya
parau setengah tersadar.
“Ini, aku”.
“Iya, siapa?”
“Aku.”
“Iya, aku siapa?”
“Sudah lupakah kau, pada
suaraku?”
“Maaf, tapi ini siapa?”
“Tak ingat lagi
kau, padaku?”
“Siapa, sih?”
“Ini aku. Yang sering
kali datang ketika kau sedih.”
“Maaf, tapi aku
benar-benar tak ingat. Dan demi Tuhan, ini masih jam dua pagi, matahari pun
masih rehat. Kalau kamu, masih berniat menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan,
akan kututup percakapan ini dengan singkat. Karena aku tak berminat.
“Aku sedih. Secepat
itukah kau melupakan aku, sahabat yang selalu menemanimu saat kau menangis? Sahabat
yang selalu ada, ketika kamu sedih, tidak bisa mengulang apa yang sudah
terjadi? Baiklah, karena aku sahabat yang setia, dan akan selalu setia, aku akan
memberitahu siapa aku. Aku kenangan. Apa kabar?”
***
Kenangan. Kalian tahu
apa itu kenangan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kenangan adalah sesuatu
atau kesan yang tertingal dan diingat dalam pikiran. Aku cukup setuju dengan
definisi tersebut. Walau demikian, aku mempunyai definisiku sendiri. Bagiku, kenangan
adalah sesuatu yang tak ’kan pernah bisa kau ulangi lagi, sesuatu yang menimbulkan perasaan tertentu saat mengingatnya. Tapi aku di sini bukan
untuk mendikte kalian tentang arti kenangan yang benar ataupun yang salah,
karena dalam dunia yang fana ini, bukankah terlalu sempit menilai dan melihat
sesuatu dengan sisi hitam-putih saja? Tidakkah sebuah lukisan akan lebih indah
dan semarak, jika terdapat beberapa gores warna di dalamnya?
Perkenalkan namaku
kenangan. Akulah yang sering dengan sengaja menyentil kalian dengan
kedatanganku yang tanpa aba-aba. Aku yang sering menyelinap diam-diam dan
membawa basah pada pelupuk mata. Aku yang sering membuat kalian terhenyak,
tersenyum, tertawa, merengut, mengeluh, bersedih, berkerut, terjerembap,
menangis, bermuring-muring diri, karena datangku yang selalu tiba-tiba. Aku
juga yang sering menyergap, menghajar kalian, agar kalian tersadar dan tidak
membuat kesalahan yang sama, agar kalian tidak lupa bagaimana rasanya tersenyum
di saat kalian merasa seluruh dunia sedang bersekongkol melawan kalian, agar
kalian tidak berhenti bersyukur atas nikmat-Nya yang melimpah ruah. Dan iya,
itu aku juga yang khilaf bermain dan meloncat kian kemari, saat kalian mungkin
sudah lupa-lupanya dengan mantan. Hehe, namanya juga khilaf.
***
Pukul empat pagi,
Beatrice berdiri di hadapan cermin, memandangi wajahnya yang sembab akibat
tangis yang tak terbendung.
“Kalian begitu cocok dan
saling mencintai, kenapa tidak mencoba untuk kembali menapaki?”
“Tidak segampang itu.”
“Semuanya begitu mudah,
kalianlah para manusia yang selalu membuatnya susah.”
“Kamu tidak akan
mengerti.”
“Apa yang tidak
kumengerti? Kau begitu tersiksa, bukan? Kau merindukannya, dia pun
merindukanmu, kalian masih saling mencintai.”
“Kadang cinta saja tidak
cukup untuk membuat sebuah hubungan berhasil.”
“Sebuah argumentasi yang
buruk.”
“Mungkin. Tapi begitulah
adanya.”
“Kalau kau begitu
mencintainya kenapa kau memutuskan berpisah dengannya?”
“Aku sudah menyakiti hatinya.”
“Lalu? Semua orang berbuat salah, itulah
gunanya introspeksi diri, bukan? Agar manusia belajar
dari kesalahannya.”
“Kau tidak mengerti. Aku telah
menyakiti hatinya. Dan kenyataan itu
membuatku merasakan sakit yang sama. Aku gagal.”
“Lantas? Semua manusia
pasti akan gagal, entah dalam hal apa. Yang penting adalah ketika mereka gagal
mereka tidak jatuh semakin terpuruk, tetapi bangkit dan mencoba lagi. Hingga
berhasil.”
***
Namanya Beatrice.
Hubungan asmara yang telah dijalaninya selama kurang lebih dua setengah tahun
kandas begitu saja, ketika ia duduk di tingkat tiga perkuliahan.
Hari itu di penghujung pergantian musim,
angin berembus kencang. Deretan pohon lamtoro yang menyirip berbentuk segitiga
itu, memilih menggugurkan daunnya yang sudah mencokelat. Angin sepoi membuat
daun-daun itu jatuh dengan anggunnya bak musim gugur di belahan Inggris raya,
tapi tunggu sampai kalian mendengar nama lokal dari pohon yang daunnya cantik
itu. Pete Cina. Iya, pete Cina. Bukan pohon mapple atau sakura.
Senandung angin membuai
Beatrice dalam nyamannya. Tugas makalah kunjungan pabrik telah selesai ia kerjakan. Urusan perut pun
telah usai dipenuhi. Masih ada sekitar satu jam lagi sebelum kelas berikutnya
dimulai. Tak ada pilihan menarik lain yang
bisa Beatrice lakukan sendirian, selain melamun.
***
Bagi beberapa orang rumah adalah tempat
sederhana untuk berteduh dari segala macam cuaca dan bahaya, yang setiap waktu
mengepulkan aroma sedap tanda masakan telah matang. Bagi sebagian lain, rumah
adalah bangunan mewah bergaya eropa dengan halaman disertai taman elok yang
cukup untuk menampung warga satu RT Jakarta pinggiran. Bagi sebagian lainnya,
rumah adalah canda dan tenang di sepetak ruang kecil dengan tripleks sebagai
penyanggah dan kardus sebagai alasnya. Namun bagii Beatrice, rumah adalah
tempat di mana ia bisa kunjungi berulangkali, di mana ia merasa aman dan
nyaman, tempat di mana ia bisa menjadi dan menemukan diri sendiri, tempat di
mana ia bisa selalu pulang,
rumah adalah dia. Seseorang yang menawarkan
canda dan tawa, seseorang yang menawarkan tempat perlindungan sekaligus
berlabuh dari kerasnya cuaca. Itu dulu.
Menit silih berganti, beberapa mahasiswa
berlalu lalang. Satu dari gerombolan mahasiswa
tersebut berjalan terlalu dekat dengan Beatrice. Wanginya sangat menusuk indera
penciuman. Membuatnya terjerembap dalam nostalgia kisah yang sudah usang. Wangi musk.
Rasanya sudah beberapa
menit yang lalu mahasiswa itu lewat, akan tetapi wangi parfum beraroma musk tersebut masih
saja menempel di hidung bangirnya. Pusing, ia pun beranjak pergi dari kursi
taman kampus yang menyisakan wangi kenangan itu. Hey, jangan lihat aku,
aku datang bukan karena mauku, salahkan mahasiswa berwangi musk itu.
Barusan aku datang
sebagai harum yang membuatnya mual. Kemarin-kemarin aku berkunjung dalam bentuk
kendaraan, dan sebuah update singkat di jejaring sosial. Iya, aku bisa datang
dalam bentuk apa saja. Mulai dari sepotong lagu, senandung nyanyian,
rinaian hujan, malam, kemacetan lalu lintas, pun dengan sebuah sketsa,
film, kata-kata, apa pun. Oh iya, minggu lalu hujan memanggilku. Karenanya,
Beatrice jadi teringat saat sedang berteduh di pinggiran jalan Surabaya bersama
mantan kekasihnya. Mobil yang mereka naiki mogok dan hujan semakin turun dengan
deras, mengundang dingin datang menyelimuti. Alhasil jemarinya memucat.
Beatrice merasa kesal.
Sedih. Marah. Semesta telah bersekongkol dengan kenangan, pikirnya.
Sudah beberapa hari ini Beatrice diserbu olehku—kenangan. Sekali lagi aku tegaskan, itu bukan
mauku. Aku kan hanya menjalankan tugasku sebagai kenangan, kalau tiba-tiba
semesta memanggilku, aku bisa apa?
Saking kesalnya ia menendang-nendang batu
yang ia temui dijalan. Lalu ia pun tersandung. Salah sendiri nendang-nendang batu, memangnya
batu nggak kesal ditendangi terus?
Hidup juga penuh dengan
sandungan. Mulai dari debu, kerikil kecil, sampai batu besar. Banyak rintangan.
Sama seperti hubungan. Dan menyerahkan hubungan pada waktu bukanlah pilihan
yang bijak dan pastinya sia-sia. Waktu membuai, ia memakan segala sesuatu yang
mencoba diam di jalurnya. Melahap seluruh jeda yang berusaha disematkan. Karena
waktu tak berjeda. Ia juga bukan mesin super pembuat keputusan. Kalianlah yang
harus memutuskan, agar tidak menyerah pada kehampaan. Maka dari itu tersedia
pilihan. Pilihan untuk tetap tinggal atau pindah ke rumah lainnya yang lebih
nyaman.
Dan
aku? Aku hanyalah setitik warna yang berkesan dalam ingatan kalian yang mungkin
saja, berdarah-darah. Tapi aku hanyalah sebingkai sejarah. Seperti gauman suara
yang berulangkali terdengar tapi tidak bisa digenggam. Kalian bisa pergi
menjauhi asal suara atau malah terbuai dalam gema yang muram. Aku layaknya
burung yang disangkar, sepenuhnya bergantung pada kalian, mau dilepas atau
tetap dipelihara, aku tak punya pilihan. Tapi kalian punya, Tuan dan Puan. Dan
kalianlah yang memutuskan untuk terus melaju bersama roda waktu dan bangkit
memperbaiki, atau tetap meratap dan menjadi sahabatku dalam melankoli yang
itu-itu lagi.
Tersandung batu sekali, memang sakit dan bisa
saja meninggalkan memar di ujung kaki, tapi hal tersebut seharusnya mampu
membuat kita berjalan lebih berhati-hati. Sandungan, mungkin diperlukan untuk
kita berkaca diri dan berintrospeksi agar tidak kembali terjatuh lagi. Beatrice
kemudian kembali berjalan, sesekali menengadah ke atas kaki langit, buah karya
Sang Pencipta, yang indahnya tak terduakan. Ia teringat sepengal sajak dari
Daeng Pabichara, ”aku ceritakan kesedihanku kepada sungai agai sungai
mengajariku bagaimana mengalir tanpa sedikit pun mengeluh”. Setelah lamunan
panjang itu, Beatrice merasa hatinya kini lebih ringan. Sungguh, sekarang
Beatrice percaya bahwa tak ada hujan yang tak berkesudahan, yang ada hanyalah
pembentuk diri dan sebuah takdir Tuhan.
Di hari kasih sayang ini, Beatrice memutuskan
mengambil napas baru dalam nestapa. Bukan berarti meninggalkanku dan berhenti
menyapa. Namun hanya selangkah kecil keputusan, untuk berjalan bersamaku
beriringan, dan bangkit dari koma yang berkepanjangan. Dia berhasil dengan cara
yang bukan mustahil; dengan menjadikanku sebuah spion koreksi saat berpapasan,
agar tak mengulang kesalahan yang sama, tak berakhiran. Bagaimana dengan kalian?
***
Ditulis untuk keperluan tugas matkul Membaca
Kritis, pada tingkat awal kuliah. Ketika rasa tak berhasil menjelma suara,
maka kutitipkan kisah pada prosa yang tak pernah pamrih menampung lara.
Bule yha. Beatrice.
BalasHapusYha, biar teenlit bgt gitu, sizt.
Hapus