Minggu, 18 Oktober 2015

Belajar Ikhlas

Tiktok. Saya terbangun dari tidur saya dengan napas agak sesak. Kemarin-kemarin memang saya selalu terbangun karena sesak, tetapi belakangan sesaknya hanya saya rasa ketika bangun. Ya, paling tidak saya bisa memejamkan mata barang sebentar. Memejamkan lelah. Mengistirahatkan rasa.

Ini bukan cerita tentang ia yang menjelma kata selesai pada November 2013. Meskipun saya tidak bisa bohong kehadirannya dulu telah menorehkan nama paling dalam di relung hati saya. Ini cerita tentang entitas-entitas yang datang-pergi setelahnya. 

Saya termasuk orang yang sulit percaya. Dan menjadi tambah sulit percaya setelah saya melepaskannya. Saya tidak mempunyai persediaan rasa percaya yang cukup untuk membangun sebuah komitmen yang didasari rasa saling percaya. I don't have enough faith in myself. 

Ada beberapa nama yang mencoba mengetuk pintu hati, tapi dinding yang saya bangun di sekeliling pintu itu adalah dinding yang kedap suara. Seberapa pun keras nama-nama itu mencoba mengetuk, tetap saja tak terdengar barang sebunyi pun di dalam. Perangkat kedap suara yang saya pasang terlalu tebal. 

Suatu hari ketika saya mulai merasa nyaman dengan kesendirian, saya malah lengah. Menurunkan kadar tebal pada perangkat kedap suara itu. Lalu setiap kali saya lengah, dan mengizinkan mereka untuk melihat-lihat, saya selalu berakhir dengan kepayahan akan gaduh yang mereka buat. Mereka meracau dengan sangat gaduh sampai tidak mendengar kekonyolan apa yang mereka keluarkan. Sungguh konyol, sampai-sampai saya merasa begitu bodoh mengizinkan mereka melihat-lihat. Mereka selalu membual. Meninggalkan saya dengan tanya dan rasa percaya yang semakin menipis. Kalau sudah begitu saya rindu Ayah. Ingin sekali saya menumpahkan buncahan ini kepada beliau, tetapi beliau hanya awan yang takbisa saya genggam. Hanya sebuah bisik yang berjalan. Sebait fiksi. Saya semakin benci merindu. 

Beberapa bulan lalu saya kembali menghadapi kegaduhan itu. Meski dari awal saya sudah merasa bahwa apa yang saya coba ini akan sia-sia, tetapi saya mencoba percaya. Sedikit saja. Saya teringat nasihat teman saya, "Nu, kalau Nunu nggak mau belajar berenang, gimana Nunu bisa sampai ke tepian?". Iya, saya memang terlalu takut untuk mencoba kembali. Bagaimana bisa saya mempercayai orang lain ketika Ayah saya sendiri pergi dan padam? Tuhan, maafkan saya yang memukul rata hamba-Mu itu. Saya memang pengecut. Dan ketakutan saya pun seringnya terbukti. Saya lagi-lagi termakan bualan kosong, saya dibohongi. Seseorang itu minta maaf berkali-kali, tetapi saya sudah menutup pintu dan memasang perangkat kedap suara itu rapat-rapat. Sampai sekarang dia masih berusaha untuk menghubungi saya, saya hanya bisa tersenyum sinis. Kalau rasa percaya bisa dimenangkan dengan kata maaf, seberapa banyak orang yang akan jatuh pada kecewa? :-)

Di tengah rasa kecewa itu, kamu datang.

*berlanjut ke postingan berikutnya.

0 comments:

Posting Komentar