Fiksi
Kutanam mimpi dan prasangka
pada bayangmu yang ternyata awan.
Senatiasa memayungi
dari panas menerjang
sekaligus membasahi
di kala badai.
Berbuah album usang dan
gitar yang sekarang patah—terbelah
dua.
Lalu, hujan memakui pori-pori
harapan,
fiksiku terderai-berai.
Aku berlari bertahan,
tapi basah. Basah di mana-mana.
Basah di pelupuk. Basah di
pekarangan.
Tidak, tolong jangan dekap.
Bayangmu fiksi. Bayangmu awan.
Hanya sebuah bisik berjalan.
Jatinegara, 29
Maret 2014
Mungkin nggak banyak yang tahu
kalau puisi tersebut saya tujukan untuk sosok Ayah yang selama ini keberadaannya
hanya fiksi bagi saya. Sebab mengisahkan kembali duka yang mengendap, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Maka, saya lebih senang menutupnya rapat-rapat tanpa cela.
Saya nggak mempunyai kesempatan untuk mengenal dan
mengintip isi hatinya yang tak urung dirundung kelabu. Saya nggak mempunyai
kesempatan untuk mengerti bahwa dengan kepergiannya bukan berarti ia tak cinta.
Saya ingin sekali mengerti dan percaya. Selama ini, saya merasa sosok beliau
begitu jauh, sejauh awan yang tak lengang menggantung di angkasa. Setiap saya berusaha
menggerakkan kaki dan tangan saya untuk terbang menggapai gumpalan awan yang sangat
jauh itu, hanya cair yang menyelinap jatuh dari keseluruh jemari saya. Semakin saya
berusaha, maka semakin basahlah saya. Namun, dengan keadaan basah itu saya tetap berusaha
mengeringkan badan dan berbenah. Tetapi ketika saya sudah siap untuk berbenah, ia malah terus mengikuti saya layaknya bayangan. Mengikuti
ke mana pun kaki yang mencoba tegak ini melangkah. Bayangan yang tetap tak bisa saya genggam, hanya hitam yang tak pernah lelah mengikuti terang.
Seperti lirik Lagu Anak ciptaan
Danto ”Sisir Tanah” yang dibawakan Fajar Merah di atas, ”Bapak seperti puisi rumit dan
singkat. Bapak seperti puisi berlapis arti.” Ia datang dengan begitu singkat
dan terlalu rumit untuk dihadapi seorang saya yang akhirnya selalu berkabut. Setiap
mengingat sosoknya saya seperti dihunjam belati sepi berulang-kali. Saya rindu
dan saya benci. Saya rindu memiliki sepasang bahu kuatnya untuk pulang
merebahkan setiap lelah yang saya rasa. Saya rindu sosok tabah yang bisa
menenangkan resah dan sendu yang beradu di ceruk hati saya. Saya rindu memiliki
sosok yang meneduhkan rasa kecewa yang terkadang mampir sejenak, sosok yang akan selalu bangga setiap saya
berhasil mencapai sesuatu, tungku yang selalu mengepulkan rasa aman kepada
gadis kecilnya yang takut menjalani hari esok, saputangan yang dengan sabarnya
menghapus kelabu dari pelupuk mata, rumah tempat saya pulang dan merebahkan harap.
Saya rindu Ayah dan saya (harus merasa) baik-baik saja.
"Dia selalu mampu mengecup ingatanku, namun ingatanku kening yang cuma mampu menunggu dikecup. Kata-kataku selalu ingin mampu menyentuh jantungnya, namun mereka tidak punya jemari." (Aan Mansyur - Menyebrang Jembatan)
You will be ok, if you want to be ok. To be strong is a choice. Promise me you'll choose it. - A Friend of Mine
I knew it. I mean, yea I know nothing. But I know some stories that u hide frm everyone. Gtw dr mn. I jst feel it. Be strong, and I know you already are :*
BalasHapusMaaf, never had the chance to tell you :"( It was so fckn hard, always stumbling and stutter evrytm i wanted to. Am trying :D
Hapus